Sejarah dan Perkembangan Angklung.
Sejarah dan Perkembangan Angklung. Angklung merupakan alat musik yang berbahan dasar bambu yang dimainkan dengan digetarkan pada bagian tubuhnya. Suara yang ditimbulkan merupakan efek dari suara benturan dari setiap tabung-tabung dari bambu yang menjadi penyusun instrumen itu. Instrumen alat music yang satu ini digolongkan ke dalam golongan instrumen idiofon atau merupakan alat music yang memiliki sumber bunyi yang berasal dari bahan penyusunnya. Angklung pada umumnya dikenal di wilayah Jawa Barat yang merupakan lokasi asalnya. Sejak bulan November tahun 2010, UNESCO mencatat alat music itu sebagai salah satu dari sekian banyak warisan kebudayaan di dunia, dengan golongan dan diakui berkategori Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity kala itu.
Etimologi
Asal kata angklung mulanya berasal dari Bahasa Sunda tempat alat music itu pertamakali dibuat (angkleung-angkleungan), yang merupakan gerak tubuh dari para pemain Angklung yang bergerak berayun-ayun seiring dengan irama yang dihasilkan. Namun, ada yang meyakini bahwa asal kata angklung adalah berasal dari kata klung, atau yang diartikan sebagai tiruan bunyi instrumen bambu tersebut. Sementara teori yang lainnya menyebutkan, bahwa kata “angklung” adalah Bahasa Bali, yakni angka. Angka memiliki artian nada, sedangkan kata lung memiliki arti patah , atau kata lain, angklung memiliki arti nada yang tidak lengkap atau patah.
Sejarah Angklung
Menurut penuturan sseorang Dr. Groneman, Angklung sudah ada di wilayah Nusantara, bahkan sebelum era Hindu dimulai. Menurut penuturan Jaap Kunst dalam bukunya yang berjudul Music in Java, selain di wilayah Jawa Barat, Angklung juga dapat ditemui di daerah daerah di pulau Sumatra bagian Selatan dan beberapa wilayah di Kalimantan. Di luar itu, masyarakat di wilayah Lampung, serta Jawa Timur dan juga Jawa Tengah juga sudah mengenal alat musik angklung.
Di masa Hindu berjalan, tepatnya pada era Kerajaan Sunda berjaya, Angklung menjadi salah satu instrumen penting dalam berbagai pesta upacara perayaan, terutama yang menyangkut dengan masalah ritus bercocok-tanam, khususnya tanamanan padi. Di lingkungan wilayah Kerajaan Sunda, tercatat sudah sejak abad yang ke-7, Angklung mulai dimainkan sebagai bentuk dari ungkapan pemujaan terhadap Dewi Sri (atau dikenal dengan sebutan dewi padi / dewi kesuburan), agar Dia mau melimpahkan segala berkahnya atas tanaman serta atas kehidupan seluruh masyarakat. Tidak hanya sebagai media yang digunakan untuk penyembahan terhadap dewa-dewi, tepatnya di zaman Kerajaan Sunda, Angklung adalah alat musik yang dijadikan sebagai pemacu semangat dalam kegiatan peperangan, termasuk juga ketika Perang Bubat, sebagaimana yang diceritakan Kidung Sunda.
Dan hingga hari ini, Angklung Gubrag adalah instrument Angklung yang tertua yang masih terawatt dengan baik. Angklung itu dibuat tepatnya pada abad yang ke-17 di Jasinga, kabupaten Bogor. Angklung kuno lainnya yang masih bisa dilacak keberadaannya berada di dalam Museum Sri Baduga, kota Bandung. Sementara, tradisi Angklung yang paling lawas dapat didapati di sekitar lingkungan masyarakat Kanekes (atau kita mengenalnya dengan suku Baduy), tepatnya di wilayah daerah Lebak, Banten. Hingga hari ini masih tetap ada, mereka masih memfungsikan alat music angklung sebagai warisan para leluhurnya, yakni untuk mengiringi ritus dalam urusan bercocok-tanam.
Jenis-jenis Angklung
Angklung Kanekes
Angklung Kanekes merupakan jenis Angklung yang dimainkan masyarakat Kanekes (atau suku Baduy), di wilayah Banten. Sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, tradisi Angklung yang pada masyarakat Kanekes ini terbilang sangat sangat kuno, dan tetap dapat dilestarikan sebagaimana dengan fungsi yang dicontohkan oleh para leluhur mereka, yakni digunakan untuk mengiringi ritus bercocok-tanam
Angklung Dogdog Lojor
Kesenian Dogdog Lojor ini dapat ditemui di lingkungan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, yang tinggal di sekitar Gunung Halimun, yang berbatasan ;angsung dengan wilayah kota Jakarta, Bogor, serta wilayah Lebak. Istilah Dogdog Lojor sejatinya diambil dari sebutan atas salah satu instrumen dalam tradisi tersebut, yakni Dogdog Lojor. Namun, Angklung juga memiliki porsi yang tidak kalah penting dalam kesenian ini, terutama fungsi tradisinya, yakni digunakan sebagai media pengiring ritus untuk tujuan bercocok-tanam. Setelah masyarakat di wilayah tersbut mulai menganut ajaran islam, pada perkembangannya, kesenian ini juga dipakai untuk mengiringi acara khitanan serta pesta perkawinan. Dalam kesenian Dogdog Lojor, ada 2 intrumen dari Dogdog Lojor serta 4 instrumen dari angklung besar.
Angklung Badeng
Badeng adalah kesenian yang memanfaatkan Angklung sebagai salah satu sumber instrument utamanya. Kesenian Badeng ini sendiri terdapat di wilayah Desa Sanding, Kecamatan Malangbong, kabupaten Garut. Seiring dengan perkembangan masuknya agama Islam, Kesenian Badeng diperuntukan untuk kepentingan dakwah serta juga dipakai untuk hiburan. Namun, diyakini Angklung pada kesenian Badeng ini juga mempunyai akar tradisi yang sama dengan kesenian lainnya, yakni sebagai sarana untuk pengiring ritus yang bertujuan untuk bercocok-tanam. Dalam kesenian Badeng tersebut, dimainkan 9 buah Angklung dengan berbagai nada, yakni 2 angklung nejis roel, 1 angklung jenis kecer, 4 angklung jenis indung serta angklung bapa, juga termauk 2 angklung anak; 2 buah dogdog, dan 2 buah terbang atau yang disebut gembyung, serta 1 buah kecrek sederhana.
Selain tiga macam tradisi kesenian Angklung yang disebutkan di atas, masih banyak daerah lain di wilayah Jawa Barat yang mewarisi tradisi Angklung tersebut, sebut saja kesenian Angklung Buncis (Priangan/Bandung), kesenian Angklung Badud (Priangan Timur/Ciamis), serta Angklung Bungko (Indramayu).
Angklung Padaeng
Angklung Padaeng merupakan Angklung yang sampai sekarang masih dikenal luas, yaitu Angklung dari hasil inovasi seorang Daeng Soetigna, yang memanfaatkan tangga nada diatonis. Sejalan dengan adanya teori musik, kesenian Angklung Padaeng s
BACA JUGA
Perang Besar Melawan Kolonial Belanda
Perlawanan Bersama Perang Padri