Jalan Peperangan Diponegoro
Jalan peperangan
Jalan Peperangan Diponegoro. Pertempuran yang bersifat terbuka dengan mengerahkan pasukan-pasukan infantri, kavaleri serta artileri (yang sejak perang Napoleon menjadi sebuah senjata andalan pertempuran frontal) pada kedua belah pihak berlangsung dengan sangat sengit. Front pertempuran berlangsung di puluhan kota serta desa di seluruh wilayah Jawa. Pertempuran juga berlangsung sedemikian sengitnya hingga bila suatu wilayah bisa dikuasai oleh pasukan Belanda di siang hari, maka pada malam harinya di wilayah itu akan direbut kembali pasukan pribumi yang melawannya waktu itu; begitu juga jika terjadi sebaliknya. Jalur-jalur logistik yang dibangun dari satu wilayah menuju ke wilayah yang lain untuk dapat menyokong keperluan perang sepanjang 5 tahun itu. Berpuluh-puluh kilangan mesiu terus dibangun di dalam hutan-hutan serta di dasar jurang di pinggir lokasi perang. Produksi mesiu serta peluru berlangsung dengan terus menerus sementara peperangan sedang berkecamuk di berbagai wilayah bagian. Para telik sandi serta kurir sangat bekerja keras mencari serta menyampaikan informasi yang sangat diperlukan untuk dapat menyusun strategi perang disana. Informasi mengenai seberapa kekuatan musuh, serta jarak tempuh dan juga waktu, kondisi medan, beserta curah hujan menjadi berita yang paling utama; karena taktik serta strategi yang jitu hanya bisa dibangun melalui penguasaan informasi yang sulit diketahui tersebut.
Serangan-serangan yang besar dari rakyat pribumi selalu dilaksanakan di saat bulan-bulan penghujan; para senopati yang menyadari sekali untuk selalu bekerjasama dengan kondisi alam sebagai “senjata” yang tak terkalahkan. Bila musim penghujan sudah tiba, gubernur Belanda akan segera melakukan usaha-usaha untuk melakukan gencatan senjata serta berunding, karena hujan tropis yang sangat deras membuat gerakan pasukan mereka akan sangat terhambat. Penyakit malaria, serta disentri, dan penyakit lainnya merupakan “musuh yang tak tampak bagi mereka”, melemahkan moral serta kondisi fisik bahkan sering juga merenggut nyawa pasukan pasukan mereka. Ketika gencatan senjata dilakukan, Belanda akan segera mengonsolidasikan pasukan serta menyebarkan mata-mata bahkan juga provokator mereka untuk bergerak di desa dan kota; untuk menghasut, serta memecah belah atau bahkan menekan anggota dari keluarga para pengeran saerta pemimpin perjuangan rakyat tersebut yang berjuang dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Namun pejuang dari pihak pribumi tersebut tidak merasa gentar serta tetap berjuang melawan kolonial Belanda.
Pada puncak dari peperangan, Belanda akhirnya mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadunya; suatu hal yang sebetulnya tidak pernah terjadi ketika itu, pasalnya suatu wilayah yang tidak begitu luas seperti di Jawa Tengah serta sebagian wilayah Jawa timur dijaga puluhan ribu serdadu yang terlatih. Dari sisi kemiliteran, ini merupakan perang pertama yang melibatkan seluruh metode yang dikenal pada perang modern. Baik metode terbuka (atau open warfare), juga metode perang gerilya (guerrilla warfare) yang dilaksanakan dengan melalui taktik hit and run serta usaha penghadangan (Surpressing). Perang ini bukan merupakan suatu tribal war atapun perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. Perang ini juga sudah dilengkapi dengan menggunakan taktik perang urat syaraf (psy-war) dengan melalui insinuasi serta tekanan-tekanan bahkan upaya provokasi oleh pihak Belanda kepada mereka yang terlibat dalam pertempuran tersebut; serta kegiatan telik sandi (spionase) yang di mana kedua belah pihak sangat berupaya untuk saling memata-matai serta mencari informasi mengenai informasi kekuatan serta kelemahan lawannya waktu itu.
Indeks Artikel
klik masing masing link
Latar Belakang Perang Diponegoro
Awal Mula Perang Diponegoro
Jalan Peperangan Diponegoro
Akhir Dari Perang Diponegoro